Ditulis oleh Thomas J. F. Goreau, PhD
Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversitas terbesar pada terumbu karang, mangrove, dan lamun dari seluruh negara di dunia. Lebih dari 95% dari terumbu karang rusak akibat bom, racun, limpasan tanah, kotoran dan polusi kimiawi, penyakit baru, pemutihan karang yang disebabkan pemanasan global. Bahkan lebih dari setengah mangrove telah dipotong dan dikerok untuk tambak udang, sekitar setengahnya ditinggalkan karena penyakit udang.
Kehilangannya menyebabkan banjir pantai yang parah disekitarnya, seperti lahan yang tidak terlindungin, Jakarta, Jawa Utara, Sumatra, Kalimantan, dan melintasi Asia Tenggara.
Sekarang, lamun sedang sekarat akibat terkubur lumpur dari erosi tanah yang menyapu habis hutan akibat penebangan liar dan penebangan kayu untuk penanaman kelapa sawit, dimana itu meningkatkan kotoran dan pemakaian pupuk pertanian mengakibatkan kelebihan nutrien sehingga terjadinya algae bloom yang menutupi lamun dan terumbu karang.
Seiring menghilangnya ekosistem pesisir di Indonesia yang tak ternilai harganya, maka perikanan juga runtuh, pantai tersapu bersih, dan spesies endemik langka dapat mungkin hilang selamanya.
Sulawesi terletak di inti pusat area keanekaragaman hayati di Indonesia, “jantung hati” keanekaragaman spesies laut global. Jika terumbu karang tidak dibom, diracun, atau mengalami pemutihan, maka Sulawesi akan memiliki tutupan karang, keanekaragaman hayati, dan pertumbuhan tertinggi di dunia.
Keanekaragaman yang luarbiasa ini disebabkan oleh uniknya faktor lingkungan dan sejarah yang akan terlalu banyak untuk dibahas secara singkat di sini, namun akan dibahas lebih dalam dalam buku mengenai terumbu karang di waktu yang akan datang.
Sejak GCRA menghabiskan seluruh waktu kita untuk meregenerasi terumbu karang yang paling rusak dimana hanya tinggal sedikit terumbu karang yang masih bertahan dibawah stress berat, maka kita sepenuhnya menghargai pentingnya untuk menyelamatkan terumbu karang terakhir yang masih dalam keadaan baik sebelum menghilang akibat pemanasan global dan polusi.
Ada kebutuhan mendesak terhadap metode baru dalam meregenerasi ekosistem pesisir yang rusak untuk menjaga perlindungan pantai, perikanan, pariwisata, dan layanan keanekaragaman hayati yang mereka sediakan.
Dalam menghadapi percepatan pemanasan global, kenaikan permukaan laut secara global, dan polusi, maka cara lama dalam memulihkan ekosistem telah terbukti sebagai sebuah kegagalan yang mahal, ketika petani konvensional fragmen karang dihancurkan secara masif dengan pemutihan, penyakit, dan angin topan, serta hutan bakau dan lamun, sehingga transplantasi yang susah payah ditanama dengan mudah tersapu oleh gelombang badai kuat bahkan sebelum akar dapat tumbuh.
Ketika masalah ini meningkat, maka kesuksesan jangka panjang yang akan datang dalam meregenerasi ekosistem yang krusial ini hanya dapat dicapai dengan metode yang regeneratif yang mampu meningkatkan penyelesaian, pertumbuhan, ketahanan, dan resistensi terhadap lingkungan yang semakin ekstrim akibat suhu, lumpur, polusi, dan ombak.
Biorock adalah metode satu-satunya yang mampu menghadapi ini, tidak hanya terumbu karang namun seluruh hewan laut dan tanaman. Terumbu karang biorock mampu bertahan hidup di ekositem yang ekstrim sekalipun, dan dapat meregenerasi seluruh ekosistem bahkan di area polusi yang hebat sekalipun dimana secara natural tidak dapat pulih.
Sekitar 500 terumbu karang dibangun oleh Biorock Indonesia di Bali, Lombok, Flores, Sulawesi, Java, Sumbawa, dan Ambon yang mampu menumbuhkan setengah dari seluruh spesies terumbu karang di dunia, dan meningkatkan secara signifikan biodiversitas laut disekitarnya.
Belakang ini GCRA membuat film mengenai terumbu karang utama di Sulawesi Utara dengan Take Action Films, yang akan mempersiapkan film dokuementer mengenai terumbu karang dalam jangka panjang.
Dalam banyak tempat yang menakjubkan ini terdapat terumbu karang di daerah dangkal yang seutuhnya masih tertutupi karang meja besar, hingga 4 – 5 meter, sedangkan di perairan yang lebih dalam didominasi oleh soft corals dan sponges. Namun terlepas dari kemegahannya, terumbu ini tidak kebal terhadap pemanasan global, penyakit karang terbaru, dan polusi berbasis lahan.


Tetapi tidak semua surga di bawah laut ini sempurna. Pada tahun 1998 dan 2006, peristiwa pemutihan karang yang disebabkan oleh suhu tinggi membunuh lebih dari 95% karang di terumbu di seluruh Indonesia selatan, dan peristiwa semacam itu menjadi lebih parah dan lebih sering terjadi akibat pemanasan global. Spesies karang yang paling keras dari semuanya, dan yang paling terakhir hidup akibat stres dan polusi pemutihan yang parah, ditemukan pada tahun 2018 sekarat akibat wabah penyakit baru di daerah hilir dari peternakan udang dan ikan besar. Pekerjaan dari James Cervino, GCRA dan rekannya sangat menyarankan bahwa sedikitnya studi mengenai penyakit ini disebabkan oleh bakteri dan virus patogen dari kerang-kerangan yang tersebar dari pertambakan udang dan ikan. Penelitian ini bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas riset pertanian dan perikanan terbaik di Indonesia, Biorock Indonesia, dan Global Coral Reef Alliance (GCRA) yang diharapkan mampu mengidentifikasi patogen yang menyebabkan wabah baru penyakit karang dan menentukan bagaimana keterkaitannya dengan budidaya laut yang komersial.
Pada November 2018, Biorock Indonesia melatih lokal tim di Ambon, untuk menyelamatkan terumbu karang terakhir yang tersisai di teluk Ambon yang terpolusi parah:
Teluk Ambon adalah model dari restorasi terumbu karang yang rusak, mangrove, dan lamun yang terkena polusi sangat hebat seperti di daerah Teluk Jakarta, Surabaya, Makassar, Balikpapan, dan semua kota pesisir lainnya yang terancam oleh kenaikan permukaan laut di sepanjang pantai Asia Tenggara.
Wabah siput pemakan karang dan bintang laut juga merupakan contoh masalah utama pada terumbu karang.
Karang lunak besar ini telah dimakan oleh dua siput cowrie besar dengan jaringan hitam yang menutupi cangkang putih mereka, di atas jari, yang menunjuk ke massa telur coklat yang diletakkan di jaringan karang lunak.
Sejumlah besar telur putih dari spesies berbeda terlihat di dekatnya pada karang yang sama. Meskipun siput memakan karang lunak, namun ia tidak membunuhnya, dan bagian yang sebelumnya rusak, sekarang pulih, terlihat.
Kerusakan yang dilakukan oleh Drupella terhadap karang keras jauh lebih parah, dan lebih buruk daripada kerusakan Crown of Thorns di banyak tempat.
Di pulau-pulau Laut Merah lepas pantai Ethiopia dan Eritrea, pada awal 1960-an, almarhum Profesor dari Tom Goreau pertama kali menemukan bagaimana Acanthasterstarfish memakan karang yaitu dengan mengeluarkan perut mereka melalui mulut mereka, menutupi dan mencerna jaringan karang, dan kemudian menarik perut mereka kembali ke dalam tubuh mereka melalui mulut.
Dia pertama kali mengumpulkan 5 spesies hidup Acanthasterstarfish di Atoll Bikini pada tahun 1947 yang hidup di gua-gua yang dalam dan hanya keluar di malam hari. Saat itu tidak diketahui predator apa yang mereka sembunyikan yang mampu mengendalikan populasi mereka.
Pada akhir 1960-an, ketika gerombolan pertama kali didokumentasikan di Pasifik Barat, mendiang profesor memimpin studi tentang wabah besar di Saipan, Guam, dan Palau. Ditemukan kawanan bintang laut sebanyak setengah juta atau lebih yang bermigrasi di sekitar seluruh pulau dan memakan semua karang, sampai akhirnya mereka mati kelaparan karena tidak ada lagi karang yang tersisa untuk dimakan.
Setelah satu dekade atau lebih, karang kemudian pulih tetapi hanya jika mereka berada di air berkualitas prima yang bebas dari pemanasan global, polusi, penyakit, dan dampak manusia lainnya, sampai akhirnya segerombolan bintang laut bertumbuh dan memakannya lagi.
Namun, pemulihan berlangsung cepat di masa lalu yaitu sekitar satu dekade, tetapi sekarang pemulihan sangat jarang terjadi karena percepatan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Wabah siput pemakan karang dan bintang laut merupakan masalah utama pada terumbu karang.


Pada tahun 2018 terjadi gempa di Lombok yang merusak banyak proyek Biorock di Pulai Gili, paling banyak merusak power supplies akibat bangunan yang runtuh. The Gili Eco Trust, our rekan kami, sedang sibuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Terlepas dari semua ancaman ini, Indonesia masih memiliki terumbu karang, mangrove, dan rumput laut terbesar dan yang paling beragam di dunia, namun di masa depan mereka akan lebih terancam daripada sebelumnya ketika pemanasan global, kenaikan permukaan laut global, dan polusi, serta tekanan manusia semakin memburuk.
Biorock Indonesia, rekan dari GCRA, sedang melatih kelompok lokal untuk mempersiapkan masyarakat – dalam mengelola karang Biorock diseluruh Indonesia dalam meregenerasi seluruh ekosistem.
Rekan dari Global Coral Reef Alliance, Thomas Sarkisian, belakangan ini telah menguji sistem tenaga baru yang jauh lebih efisien dan yang membutuhkan perawatan yang jauh lebih sedikit di Bali, dan Biorock Indonesia berharap untuk dapat segera meningkatkan kinerja proyek-proyek di seluruh nusantara setelah dana terkumpulkan.
Pada saat yang sama Biorock Indonesia & GCRA bekerja untuk mengembangkan dan memperluas teknologi budidaya laut berbasis masyarakat yang berkelanjutan untuk karang, ikan, lobster, tiram, kerang raksasa, rumput laut, hutan bakau, dan banyak spesies lainnya. Kami berterima kasih kepada produksi film Take Action atas dukungan mereka dalam mengunjungi lokasi-lokasi ini.